Increase Your Knowledge :)


Sabtu, 06 Desember 2014

Korupsi, Penyakit Sosial yang Patut Diperangi - catatan kecil untuk perjalanan korupsi di indonesia

Korupsi, Penyakit Sosial yang Patut Diperangi
“Katakan tidak pada korupsi!” Siapa yang tidak pernah mendengar slogan tersebut? dewasa ini, slogan tersebut sering digembar-gemborkan oleh berbagai kalangan. Mulai dari kalangan rakyat kecil yang nantinya paling merasakan dampak dari korupsi tersebut, sampai pada kalangan petinggi negara yang justru paling sering tersandung kasus korupsi. Faktanya, walaupun slogan tersebut sudah didengungkan dimana-mana, korupsi tetap menjadi penyakit sosial yang sulit untuk dihilangkan. Jangankan di jangkauan yang lebih luas, di lingkup kecil seperti keluarga atau sekolah saja, anak usia dini telah terbiasa melakukan korupsi kecil-kecilan. Mereka tidak menyadari, bahwa kebiasaan mereka dapat menimbulkan kerugian besar bagi diri mereka sendiri maupun orang lain. Lantas bagaimana cara menyikapi hal tersebut?
Korupsi adalah penyelewengan atau penggelapan uang untuk keuntungan pribadi atau keuntungan orang lain. Perilaku korup menunjuk pada sikap suka menerima uang suap dan menggunakan kekuasaan yang dimilikinya untuk kepentingan pribadi (Sucipta, 2013: 43).  Korupsi sering kali diidentikkan dengan perilaku buruk para penguasa negara. Pendapat tersebut tidaklah salah, karena memang mereka yang memiliki kedudukan tinggi itulah yang memiliki kesempatan paling besar untuk melakukan korupsi. Padahal kenyataannya, golongan masyarakat manapun beresiko untuk menjadi perilaku korupsi. Baik kaya maupun miskin, baik tua maupun muda.
Contoh nyata kasus korupsi kecil tersebut, adalah perilaku tidak terpuji siswa-siswa jaman sekarang. Banyak kita temui kejadiannya dalam kehidupan sehari-hari, para siswa membolos atau pulang lebih dahulu sebelum jam pelajaran sekolah berakhir. Adapula para guru yang mangkir mengajar tanpa alasan yang jelas. Kasus-kasus tersebut menunjukkan pada kita bahwa korupsi tidak hanya masalah uang, melainkan terdapat juga korupsi jenis lain yaitu korupsi waktu. Kemudian contoh lain di masyarakat, adalah dengan mudahnya masyarakat mendapatkan SIM tanpa harus melewati prosedur yang seharusnya. Mereka tinggal membayarkan sejumlah uang dan SIM tersebut akan selesai dalam kurun waktu beberapa jam. Di lain kondisi, para pengendara motor yang terkena tilang kini tidak perlu lagi repot-repot mengikuti sidang di pengadilan. Mereka tinggal menyodorkan uang dan pengendara itu pun kembali bebas. Kalau sudah begini, bagaimana cara menyembuhkan rakyat dari kebiasaan korupsi? Karena korupsi seolah-olah telah dijadikan bagian dari kehidupan sehari-hari.
Pada tahun 2011 saja, tercatat terdapat 436 kasus korupsi dengan jumlah tersangka sebanyak 1.053 orang. Adapun potensi kerugian negara akibat korupsi pada tahun tersebut mencapai Rp2.169 trilyun. Fakta tersebut nyatanya telah membawa nama Indonesia menjadi negara yang cukup korup di dunia. Berkaca pada kedudukan Indonesia menurut survei Study Transparency International, pada tahun 2013 ini Indonesia memang tidak separah dibandingkan tahun 2004. Dimana saat itu, Indonesia masuk dalam daftar lima besar negara terkorup di dunia. Pada tahun 2013, Indonesia tercatat menduduki posisi ke 114 dari 177 negara di dunia.
Pertanyaan yang selanjutnya muncul adalah bagaimana semua hal ini bisa terjadi. Mengapa korupsi, yang layaknya merupakan perilaku tidak terpuji, justru malah menjadi budaya yang mendarah daging di masyarakat. jika diamati lebih lanjut, merajalelanya wabah korupsi tersebut disebabkan oleh lemahnya penegakan hukum serta rendahnya mutu moralitas para pelaku korupsi itu sendiri (Sawitri, 2013: 31). Kualitas sumber daya manusia sesungguhnya memiliki peranan yang sangat penting. Apabila orang-orang yang tidak pernah dibekali oleh pendidikan anti korupsi kemudian diberikan kedudukan/kepercayaan, kemungkinan besar mereka akan menyelewengkan amanah yang telah diberikan kepadanya tersebut. Mereka tidak menyadari, tindakan mereka akan merugikan banyak pihak. Selain itu, lemahnya penegakan hukum kepada para koruptor juga menjadi faktor utama penyebab merajalelanya kasus korupsi. Jangankan membuat para koruptor jera, mereka justru cenderung meremehkan sanksi hukum dan kecanduan mengulangi lagi perbuatan yang sama.
Seperti kasus yang pernah terjadi di indonesia, adalah seorang anak berinisial AAL (15) seorang siswa SMKN 3 Palu Selatan, hampir saja divonis 5 penjara hanya karena mencuri sepasang sandal jepit. Hal tersebut sangatlah ironis mengingat para koruptor, yang telah mencuri uang negara berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus juta, ada yang lebih ringan pidana penjaranya. Bahkan beberapa di antara mereka ada yang tinggal di penjara mewah dengan fasilitas lengkap seperti penjara yang dihuni oleh Widjanarko Puspoyo, terdakwa kasus korupsi Bulog dan penjara Adrian Wowuruntu, terdakwa kasus pembobolan bank BNI.
Menghadapi berbagai realitas tersebut, tentunya sanksi hukum tersebut sangat tidak adil mengingat besarnya dampak yang dapat ditimbulkan dari korupsi. Dampak tersebut dapat meliputi bidang ekonomi, politik, dan sosial budaya. Dampak yang paling kentara tentu di bidang ekonomi, dimana para penguasa telah menelan sendiri uang yang seharusnya di pergunakan untuk kepentingan rakyat. Akibatnya, rakyat miskin makin miskin, kesenjangan sosial makin terlihat, dan rencana pembangunan banyak yang gagal akibat anggaran yang tidak tepat sasaran. Sementara itu, dalam bidang politik kita dapat mengamati hilangnya rasa percaya masyarakat terhadap pemerintah, maupun terhadap salah satu partai politik tertentu yang dianggap paling banyak melahirkan kasus-kasus korupsi dari rahim partainya.
Di bidang sosial budaya, dampak yang sangat terasa adalah merosotnya moral para generasi muda Indonesia. Pada saat ini, mereka seolah-olah dapat meraih semua yang mereka inginkan dengan instan, segalanya seperti dapat terbayarkan oleh uang. Anak-anak cerdas dapat tereliminasi dari persaingan akibat didepak oleh orang-orang yang memiliki uang. Lapangan kerja dipenuhi oleh SDM yang tidak berkualitas karena mereka mendapatkan perkerjaan tersebut dengan membayar, bukan karena keahlian mereka.
Lantas, apa solusi yang dapat ditawarkan agar generasi penerus di masa depan dapat bersih dari budaya korupsi? Jika diamati, jalan yang pertama dan terutama adalah melalui jalur pendidikan. Jalur pendidikan merupakan strategi preventif yang paling efektif. Melalui penanaman nilai-nilai anti korupsi kepada siswa sejak dini, mereka dapat mengerti bahwa tindakan korupsi hanya akan menimbulkan keuntungan sesaat, sedangkan kerugiannya akan bertahan lebih lama. Kepada siswa perlu ditanamkan nilai-nilai kejujuran, keadilan, disiplin, kerajinan, dan cara hidup sederhana. Adapun jalur pendidikan tersebut dapat ditempuh melalui sosialisasi, maupun lewat pendidikan formal di sekolah. Seperti halnya materi ajaran Budi Pekerti kelas IX SMP kurikulum KTSP 2006 dan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan kelas X SMA kurikulum 2013 yang telah memasukkan ajaran anti korupsi ke dalam materi yang disuguhkan. Hal tersebut tentunya perlu dikembangkan dan dipertahankan. Selain pendidikan, upaya preventif lain dapat diwujudkan dengan membentuk undang-undang anti korupsi, pembentukan lembaga pemantau/penindak korupsi, dan melaksanakan sistem rekrutmen yang adil dan terbuka (Sucipta, 2013: 46)
Selanjutnya, upaya kedua dapat dilakukan melalui tindakan represif. Tindakan ini ditempuh melalui jalur pengadilan, yaitu bagaimana cara kita menindak tegas para pelaku korupsi. Pidana yang diberikan hendaknya setimpal dengan banyaknya aset yang dikorupsi. Bila perlu, aset tersebut diambil kembali dari kekayaan koruptor dan dikembalikan pada negara. Dalam menindak, para penegak hukum juga diharapkan berlaku adil tanpa diskriminasi. Terhadap siapapun yang melakukan tindak pidana korupsi, semuanya harus mendapat hukuman. Hal tersebut sesuai dengan pasal 27 ayat 1 UUD 1945 yang berbunyi, “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” Sehingga tidak ada lagi koruptor yang divonis bebas, pidananya dikurangi tanpa dasar hukum yang jelas, atau mendapat vonis yang tinggi namun ditempatkan di penjara yang “mewah”.
Jadi pada intinya, korupsi merupakan penyakit sosial yang harus kita perangi mulai saat ini. Karena jika tidak, keberadaan generasi penerus yang dilumuri oleh budaya korupsi hanya akan membawa kita ke titik lemahnya suatu bangsa. Kita dapat menjaga kondisi ekonomi, politik, dan keadaan sosial masyarakat tetap stabil apabila negara kita bersih dari korupsi. Kita dapat mempercepat pembangunan dan mengurangi kesenjangan sosial apabila negara kita bersih dari korupsi. Kita dapat merasakan keadilan dan kesejahteraan apabila negara kita bersih dari korupsi. Kedepannya, mudah-mudahan generasi penerus bangsa dapat menyadari betapa besarnya kerugian yang ditimbulkan dari tindak pidana korupsi dan perlahan-lahan dapat melunturkan budaya tercela tersebut, untuk selanjutnya membangun Indonesia yang lebih baik. Sekali lagi, katakan tidak pada korupsi!

Daftar Pustaka
Khaerudin, 2013. Koruptor Tetap Istimewa di Penjara. Diakses dari http://nasional.kompas.com/read/2013/05/20/10033126/Koruptor.tetap.istimewa.di.penjara.html pada tanggal 12 April 2014.
Anonim, 2012. Akibat Korupsi, Negara Rugi Rp2.169 Trilyun. Diakses dari www.citizenjurnalism.com/hot-topics/akibat-korupsi-negara-rugi-rp-2169-trilyun.html pada tanggal 12 April 2014.
Nita, 2011. Budaya Korupsi di Indonesia. Diakses dari http://nithaahomework.blogspot.com pada tanggal 12 April 2014.
Sawitri, Rai. 2013. Buku Pengayaan Materi Budi Pekerti kelas IX. Denpasar: UD. Catur Wangsa Mandiri.

Sucipta, Made. 2013. Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Kelas X Semester 2 SMA/SMK. Singaraja: Petada Pasi Grafika.

(naskah ini berhasil menjadi juara favorit pada perlombaan Lomba Tulis Nasional 2014)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar