Increase Your Knowledge :)


Sabtu, 08 Agustus 2015

Psikologi Agama Sebagai Solusi Pengurangan Prevalensi Bunuh Diri Remaja

Psikologi Agama Sebagai Solusi Pengurangan Prevalensi Bunuh Diri Remaja
Setiap orang pasti pernah mengalami masa muda atau remaja, yaitu suatu fase peralihan dari anak-anak menuju dewasa. Pada masa peralihan ini pola pikir remaja masih labil, serta rentan mengalami depresi. Menurut Dr. Tjihin Wiguna, salah satu dokter dari Departemen Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, pikiran untuk bunuh diri biasa muncul pada anak usia 12 tahun ke atas. Hal ini dikarenakan pada usia tersebut anak mulai memasuki remaja dengan pola pikir yang telah berkembang untuk memahami rasa depresi dan putus asa.
Menurut Amir Amarullah, salah satu wartawan VIVANews Indonesia, pada tahun 2009 telah terjadi 13 kasus bunuh diri pada anak usia 5-25 tahun. Sementara itu, berdasarkan laporan paruh waktu tahun 2012 yang dihimpun oleh Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia, terungkap fakta bahwa dari bulan Januari sampai dengan Juli 2012, telah terjadi 20 kasus remaja bunuh diri. Berkaca dari tingginya angka bunuh diri di kalangan remaja, sebenarnya apa hakikat dari bunuh diri tersebut?
Bunuh diri berasal dari bahasa Latin “suicidium” yang terdiri dari dua kata yaitu “suidan “cidium”. “Suiberarti sendiri dan “cidium” berarti pembunuhan. Bunuh diri dapat diartikan sebagai upaya mengakhiri hidup sendiri, dengan maksud menghentikan keikutsertaan akan suka dan duka dalam kehidupan di dunia (Dr. Rusmin, 2014).
Metode yang kerap digunakan remaja dalam mengakhiri hidupnya tergolong variatif, diantaranya mengonsumsi obat tertentu secara berlebihan, gantung diri, menggunakan senjata api, menenggelamkan diri, melompat dari ketinggian, serta memotong urat nadi (Marris, 2000).
Menurut Arist Merdeka Sirait, selaku ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak 2012, penyebab utama remaja bunuh diri adalah depresi yang disebabkan oleh putus cinta (40%), frustasi ekonomi (35%), keluarga tidak harmonis (20%), serta masalah sekolah (5%). Prof. Dr. Dadang Hawari (2010), salah seorang psikiater jebolan Universitas Indonesia, mengungkapkan bahwa depresi merupakan penyebab utama bunuh diri serta menduduki peringkat ke-6 dari penyebab utama kematian di Amerika Serikat.
Dalam bukunya, Suicide, Durkheim (1897-1951) mengklasifikasikan bunuh diri ke dalam empat tipe, yaitu egoistic suicide (integrasi individu terhadap lingkungan sosialnya terlalu rendah, individu merasa diri mereka tidak memiliki arti), altrustic suicide (integrasi individu terhadap lingkungan sosialnya terlalu tinggi, individu merasa harus mengorbankan jiwanya demi kelompok sosial yang diikutinya), anomic suicide (integrasi individu terhadap lingkungan sosialnya terlalu rendah, individu merasa kecewa terhadap tatanan sosial di lingkungan sekitarnya), serta fatalistic suicide (individu merasa terbatasi ruang geraknya, sehingga ia memilih untuk mengakhiri hidup).
Hakikat Psikologi Agama dan Kaitannya dengan Perilaku Bunuh Diri
Psikologi agama terdiri atas dua kata, yaitu psikologi dan agama. Psikologi berarti ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia dan agama berarti segala masalah dan keyakinan yang menyangkut kehidupan batin manusia. Psikologi agama dapat diartikan sebagai cabang ilmu psikologi yang mempelajari tingkah laku manusia dalam hubungan pengaruh keyakinan terhadap agama yang dianutnya (m.wikipedia.org/wiki/psikologi_agama). Menurut Prof. Dr. Rusmin Tumanggor, ruang lingkup psikologi agama meliputi kegiatan ibadah seseorang, gerakan kemasyarakatan dari sekelompok penganut agama, budaya agama, serta kesadaran berama dalam masyarakat.
Agama melindungi manusia dari keinginan untuk menganiaya dirinya sendiri, dimana pembentuk agama adalah keberadaan sejumlah kepercayaan dan praktik tertentu yang dilakukan bersama oleh sekelompok orang beriman. Semakin banyak dan semakin kuat kepercayaan semacam ini, maka akan semakin kuat pula integrasi sosial dalam kelompok individu tersebut (Durkheim, 1897/1951).
Prof. Dadang Hawari, dalam bukunya, Psikopatologi Bunuh Diri (2010) mengungkapkan hasil penelitiannya bahwa kalangan penduduk yang taat beragama memiliki angka bunuh diri yang lebih rendah dibanding mereka yang cenderung apatis terhadap ajaran agama. Hal ini dikarenakan bunuh diri terjadi akibat hilangnya kepercayaan seseorang bahwa Tuhan mampu mengubah nasibnya.
Pada tahun 1984, World Health Organisation telah menginstruksikan bahwa dimensi spiritual keagamaan sama pentingnya dengan dimensi fisik, psikologis, serta psikologi sosial. Komitmen agama sebagai suatu kekuatan spiritual tidak dapat diabaikan karena agama berperan sebagai pelindung lebih daripada sang penyebab masalah. Komitmen agama bermanfaat bagi upaya pencegahan dengan bertindak sebagai kekuatan pelindung dan penyangga seseorang dari faktor risiko penyebab depresi yang memungkinkan tindakan bunuh diri (Larson, 1992).
Agama dapat mencegah manusia dari keinginan untuk bunuh diri. Menurut Durkheim (1987/1951), semakin ketat suatu ajaran agama dijunjung oleh penganutnya, maka akan semakin kuat integrasi sosial yang terbentuk dalam kelompok tersebut. Semakin dalam upaya orang tua menanamkan ajaran agama pada anak-anaknya, maka semakin tinggi pula penghargaan yang anak berikan terhadap dirinya.
Peran psikologi agama dalam pendidikan keluarga, sekolah, dan masyarakat telah memasuki tahap urgent (Prof. Zakiyah Dadrajat, 2004). Dilihat dari sudut kesehatan mental, kajian psikologi agama memiliki tiga bentuk manfaat yaitu pencegahan (transfer ajaran agama semisal sikap tawakal, kepasrahan, dan hukum akhirat akan menimbulkan rasa tidak enak atau rasa takut dalam diri remaja untuk melakukan hal-hal diluar batas kewajaran), pengobatan (terapi doa dan pengobatan tradisional untuk menyembuhkan depresi pada remaja maupun mengembalikan kesadaran pada remaja yang sudah melakukan percobaan bunuh diri), serta pemeliharaan (melalui ceramah keagamaan serta pembelajaran agama di sekolah akan mempertahankan kualitas moral serta kepercayaan diri remaja).
Ditilik dari ruang lingkup psikologi agama, aspek-aspek berupa kegiatan ibadah, kesadaran beragama, serta gerakan keagamaan dapat diterapkan dalam kehidupan remaja. Implementasi ajaran psikologi agama dalam kehidupan masa kini adalah bahwa penanaman ajaran agama yang kuat dan terstruktur kepada remaja penting untuk menekan keinginan bunuh diri pada remaja tersebut.
Kegiatan ibadah, yaitu berdoa dan ritual, mampu memberikan rasa optimis, semangat hidup, serta meminimalisir perasaan putus asa ketika seseorang mengalami masalah maupun keadaan yang kurang menyenangkan dalam hidupnya (Prof. Dr. Zakiah Daradjat, 2010). Doa mampu menolong remaja yang sedang mengalami depresi, dengan jalan memberikan ketenangan, keyakinan akan datangnya kondisi hidup yang lebih baik serta autosugesti yang akan mendorong remaja tersebut untuk mencapai apa yang ia doakan (dalam hal ini bebas dari jeratan masalah yang membuatnya depresi).
Kesadaran beragama merupakan faktor penting dalam membangkitkan semangat hidup remaja yang mengalami depresi. Keberadaan ajaran-ajaran agama seperti ayat-ayat kitab suci yang melarang kegiatan bunuh diri, filosofi agama semisal kepercayaan akan adanya Brahma, Atman, Karmaphala, Punarbhawa, dan Moksa dalam Panca Sradha, serta kepercayaan akan adanya hukuman akhirat bagi mereka yang mengakhiri hidup secara sengaja (kepercayaan akan adanya neraka) mampu mencegah remaja melakukan hal-hal yang tidak wajar seperti self injury (kegiatan melukai diri sendiri) dan bunuh diri.
Gerakan keagamaan yang berlangsung dalam masyarakat juga menawarkan solusi dalam mengurangi prevalensi bunuh diri. Mengikuti gerakan keagamaan akan menyibukkan remaja dengan kegiatan positif, sehingga remaja mampu menangkap pengalaman-pengalaman baru dari sudut pandang yang belum pernah ia tinjau sebelumnya, serta mempersempit waktu remaja untuk melakukan hal-hal yang tidak wajar seperti self injury dan bunuh diri. Dalam lingkungan masyarakat Bali, gerakan keagamaan ini berupa Sekaa Teruna Teruni (STT), pasraman, serta kelompok pesantian.
Kesimpulan yang didapat, remaja pada umumnya memiliki pola pikir yang masih labil, sehingga rentan mengalami putus asa dan depresi. Rasa depresi ini apabila tidak ditangani dengan baik akan memunculkan keinginan bunuh diri pada remaja. Adapun psikologi agama, salah satu cabang ilmu kejiwaan yang mempelajari tentang hubungan keyakinan batin terhadap tingkah laku manusia hadir memberikan solusi akan masalah tersebut.
Penelitian menunjukkan bahwa ketaatan beragama mampu menekan angka bunuh diri. Hal ini dikarenakan kajian psikologi agama bermanfaat dalam bidang pencegahan dan pengobatan depresi, serta pemeliharaan mental pelaku percobaan bunuh diri. Selain itu, implementasi psikologi agama seperti kegiatan ibadah, penanaman teori agama, dan organisasi keagamaan mampu menolong remaja dari kekalutan pikiran yang mendorongnya untuk bunuh diri.
Kedepannya, diharapkan ketiga sumber belajar remaja yaitu keluarga (pendidikan informal), sekolah (pendidikan formal), serta masyarakat (pendidikan non formal) dapat bahu-membahu menyempurnakan ajaran agama dalam diri remaja, sehingga akan terbentuk remaja dengan mental yang sehat serta bebas dari rasa depresi maupun kekhawatiran. Kajian-kajian psikologi agama hendaknya diterapkan dalam mengurangi prevalensi bunuh diri remaja, baik dalam bentuk pencegahan, pengobatan, maupun pemeliharaan.

Daftar Pustaka
Amarullah, A. (2009). Kasus Bunuh Diri di Indonesia. Diakses Mei 13, 2015 dari http://m.news.viva.co.id/news/read/110420-kasus_bunuh_diri_di_indonesia
Anonim. (2012). Singkat Mengenai Bunuh Diri Dalam Perspektif Faktor Risiko Resiliensi dan Keterlibatan Agama. Diakses Mei 13, 2015 dari https://justclickado.wordpress.com/2012/03/20/singkat-mengenai-bunuh-diri-dalam-perspektif-faktor-risiko-resiliensi-dan-keterlibatan-agama/
Azwarni, Y. (2013, Oktober). Psikologi Agama tentang Ruang Lingkup dan Kegunaan Psikologi Agama. In the meeting of Fakultas Tarbiyah IAIN Imam Bonjol Padang. Indonesia : Sumatera Barat.
Hayuningtyas, D. (2013). Upaya Bunuh Diri Sebagai Bentuk Depresi pada Remaja Putri Korban Trafficking. Jurnal Dinar, 4-5.
Kurnia, L. (2013). Pengertian, Sejarah Perkembangan, Manfaat, dan Ruang Lingkup Psikologi Agama untuk Pendidikan. Diakses Mei 14, 2015 dari https://salusta.wordpress.com/2013/10/25/pengertian-sejarah-perkembangan-manfaat-ruang-lingkup-dan-manfaat-psikologi-agama-untuk-pendidikan/
Nugraeni, R. (2015). Kenapa Remaja Rentan Bunuh Diri. Diakses Mei 13, 2015 dari http://tumbuh-kembang.co.id/kenapa-remaja-rentan-bunuh-diri/
Oltmanns, T. (2013). Psikologi Abnormal. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Pendidikan Sosiologi UNY. (2013). Teori Sosiologi Klasik, Emile Durkheim 2. Diakses Mei 13, 2015 dari http://gurumudasosiologi.blogspot.com/2013/12/-teori-sosiologi-klasik-emile_2.html?m=1
Purwanto, S. (2007). Psikoterapi Doa. Diakses Mei 13, 2015 dari http://setiyo.blogspot.com/2007/02/terapi-doa.html?m=1
Rozaki, A. (2012). Bunuh Diri di Kalangan Anak dan Remaja Indonesia. Diakses Mei 14, 2015 dari http://kyotoreview.org/bahasa-indonesia/bunuh-diri-di-kalangan-anak-dan-remaja-indonesia/
Tumanggor, R. (2014). Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: Kencana Prenadamedia Group.

Wikipedia. (n.d.). Psikologi Agama. Diakses Mei 13, 2015 dari http://id.m.wikipedia.org/wiki/Psikologi_agama

(Essay ini diikutkan sebagai salah satu peserta dalam Psychological Writing Competition Universitas Udayana / PWC UNUD tahun 2015)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar