Korupsi, Penyakit Sosial yang Patut Diperangi
“Katakan tidak pada korupsi!” Siapa yang tidak pernah
mendengar slogan tersebut? dewasa ini, slogan tersebut sering
digembar-gemborkan oleh berbagai kalangan. Mulai dari kalangan rakyat kecil
yang nantinya paling merasakan dampak dari korupsi tersebut, sampai pada
kalangan petinggi negara yang justru paling sering tersandung kasus korupsi. Faktanya,
walaupun slogan tersebut sudah didengungkan dimana-mana, korupsi tetap menjadi
penyakit sosial yang sulit untuk dihilangkan. Jangankan di jangkauan yang lebih
luas, di lingkup kecil seperti keluarga atau sekolah saja, anak usia dini telah
terbiasa melakukan korupsi kecil-kecilan. Mereka tidak menyadari, bahwa
kebiasaan mereka dapat menimbulkan kerugian besar bagi diri mereka sendiri
maupun orang lain. Lantas bagaimana cara menyikapi hal tersebut?
Korupsi adalah penyelewengan atau penggelapan uang untuk
keuntungan pribadi atau keuntungan orang lain. Perilaku korup menunjuk pada
sikap suka menerima uang suap dan menggunakan kekuasaan yang dimilikinya untuk
kepentingan pribadi (Sucipta, 2013: 43). Korupsi sering kali diidentikkan dengan perilaku buruk para penguasa
negara. Pendapat tersebut tidaklah salah, karena memang mereka yang memiliki
kedudukan tinggi itulah yang memiliki kesempatan paling besar untuk melakukan
korupsi. Padahal kenyataannya, golongan masyarakat manapun beresiko untuk
menjadi perilaku korupsi. Baik kaya maupun miskin, baik tua maupun muda.
Contoh nyata kasus korupsi kecil tersebut, adalah
perilaku tidak terpuji siswa-siswa jaman sekarang. Banyak kita temui
kejadiannya dalam kehidupan sehari-hari, para siswa membolos atau pulang lebih
dahulu sebelum jam pelajaran sekolah berakhir. Adapula para guru yang mangkir
mengajar tanpa alasan yang jelas. Kasus-kasus tersebut menunjukkan pada kita
bahwa korupsi tidak hanya masalah uang, melainkan terdapat juga korupsi jenis
lain yaitu korupsi waktu. Kemudian contoh lain di masyarakat, adalah dengan
mudahnya masyarakat mendapatkan SIM tanpa harus melewati prosedur yang
seharusnya. Mereka tinggal membayarkan sejumlah uang dan SIM tersebut akan
selesai dalam kurun waktu beberapa jam. Di lain kondisi, para pengendara motor
yang terkena tilang kini tidak perlu lagi repot-repot mengikuti sidang di
pengadilan. Mereka tinggal menyodorkan uang dan pengendara itu pun kembali
bebas. Kalau sudah begini, bagaimana cara menyembuhkan rakyat dari kebiasaan
korupsi? Karena korupsi seolah-olah telah dijadikan bagian dari kehidupan
sehari-hari.
Pada tahun 2011 saja, tercatat terdapat 436 kasus korupsi
dengan jumlah tersangka sebanyak 1.053 orang. Adapun potensi kerugian negara
akibat korupsi pada tahun tersebut mencapai Rp2.169 trilyun. Fakta tersebut
nyatanya telah membawa nama Indonesia menjadi negara yang cukup korup di dunia.
Berkaca pada kedudukan Indonesia menurut survei Study Transparency International, pada tahun 2013 ini Indonesia
memang tidak separah dibandingkan tahun 2004. Dimana saat itu, Indonesia masuk
dalam daftar lima besar negara terkorup di dunia. Pada tahun 2013, Indonesia
tercatat menduduki posisi ke 114 dari 177 negara di dunia.
Pertanyaan yang selanjutnya muncul adalah bagaimana semua
hal ini bisa terjadi. Mengapa korupsi, yang layaknya merupakan perilaku tidak
terpuji, justru malah menjadi budaya yang mendarah daging di masyarakat. jika
diamati lebih lanjut, merajalelanya wabah korupsi tersebut disebabkan oleh
lemahnya penegakan hukum serta rendahnya mutu moralitas para pelaku korupsi itu
sendiri (Sawitri, 2013: 31). Kualitas sumber daya manusia sesungguhnya memiliki
peranan yang sangat penting. Apabila orang-orang yang tidak pernah dibekali
oleh pendidikan anti korupsi kemudian diberikan kedudukan/kepercayaan,
kemungkinan besar mereka akan menyelewengkan amanah yang telah diberikan kepadanya
tersebut. Mereka tidak menyadari, tindakan mereka akan merugikan banyak pihak.
Selain itu, lemahnya penegakan hukum kepada para koruptor juga menjadi faktor
utama penyebab merajalelanya kasus korupsi. Jangankan membuat para koruptor
jera, mereka justru cenderung meremehkan sanksi hukum dan kecanduan mengulangi
lagi perbuatan yang sama.
Seperti kasus yang pernah terjadi di indonesia, adalah
seorang anak berinisial AAL (15) seorang siswa SMKN 3 Palu Selatan, hampir saja
divonis 5 penjara hanya karena mencuri sepasang sandal jepit. Hal tersebut
sangatlah ironis mengingat para koruptor, yang telah mencuri uang negara
berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus juta, ada yang lebih ringan pidana
penjaranya. Bahkan beberapa di antara mereka ada yang tinggal di penjara mewah
dengan fasilitas lengkap seperti penjara yang dihuni oleh Widjanarko Puspoyo,
terdakwa kasus korupsi Bulog dan penjara Adrian Wowuruntu, terdakwa kasus
pembobolan bank BNI.
Menghadapi berbagai realitas tersebut, tentunya sanksi
hukum tersebut sangat tidak adil mengingat besarnya dampak yang dapat
ditimbulkan dari korupsi. Dampak tersebut dapat meliputi bidang ekonomi,
politik, dan sosial budaya. Dampak yang paling kentara tentu di bidang ekonomi,
dimana para penguasa telah menelan sendiri uang yang seharusnya di pergunakan
untuk kepentingan rakyat. Akibatnya, rakyat miskin makin miskin, kesenjangan
sosial makin terlihat, dan rencana pembangunan banyak yang gagal akibat
anggaran yang tidak tepat sasaran. Sementara itu, dalam bidang politik kita
dapat mengamati hilangnya rasa percaya masyarakat terhadap pemerintah, maupun
terhadap salah satu partai politik tertentu yang dianggap paling banyak
melahirkan kasus-kasus korupsi dari rahim partainya.
Di bidang sosial budaya, dampak yang sangat terasa adalah
merosotnya moral para generasi muda Indonesia. Pada saat ini, mereka
seolah-olah dapat meraih semua yang mereka inginkan dengan instan, segalanya
seperti dapat terbayarkan oleh uang. Anak-anak cerdas dapat tereliminasi dari
persaingan akibat didepak oleh orang-orang yang memiliki uang. Lapangan kerja
dipenuhi oleh SDM yang tidak berkualitas karena mereka mendapatkan perkerjaan
tersebut dengan membayar, bukan karena keahlian mereka.
Lantas, apa solusi yang dapat ditawarkan agar generasi
penerus di masa depan dapat bersih dari budaya korupsi? Jika diamati, jalan
yang pertama dan terutama adalah melalui jalur pendidikan. Jalur pendidikan
merupakan strategi preventif yang paling efektif. Melalui penanaman nilai-nilai
anti korupsi kepada siswa sejak dini, mereka dapat mengerti bahwa tindakan
korupsi hanya akan menimbulkan keuntungan sesaat, sedangkan kerugiannya akan bertahan
lebih lama. Kepada siswa perlu ditanamkan nilai-nilai kejujuran, keadilan, disiplin,
kerajinan, dan cara hidup sederhana. Adapun jalur pendidikan tersebut dapat
ditempuh melalui sosialisasi, maupun lewat pendidikan formal di sekolah.
Seperti halnya materi ajaran Budi Pekerti kelas IX SMP kurikulum KTSP 2006 dan Pendidikan
Pancasila dan Kewarganegaraan kelas X SMA kurikulum 2013 yang telah memasukkan
ajaran anti korupsi ke dalam materi yang disuguhkan. Hal tersebut tentunya
perlu dikembangkan dan dipertahankan. Selain pendidikan, upaya preventif lain
dapat diwujudkan dengan membentuk undang-undang anti korupsi, pembentukan
lembaga pemantau/penindak korupsi, dan melaksanakan sistem rekrutmen yang adil
dan terbuka (Sucipta, 2013: 46)
Selanjutnya, upaya kedua dapat dilakukan melalui tindakan
represif. Tindakan ini ditempuh melalui jalur pengadilan, yaitu bagaimana cara
kita menindak tegas para pelaku korupsi. Pidana yang diberikan hendaknya
setimpal dengan banyaknya aset yang dikorupsi. Bila perlu, aset tersebut
diambil kembali dari kekayaan koruptor dan dikembalikan pada negara. Dalam
menindak, para penegak hukum juga diharapkan berlaku adil tanpa diskriminasi.
Terhadap siapapun yang melakukan tindak pidana korupsi, semuanya harus mendapat
hukuman. Hal tersebut sesuai dengan pasal 27 ayat 1 UUD 1945 yang berbunyi,
“Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan
wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”
Sehingga tidak ada lagi koruptor yang divonis bebas, pidananya dikurangi tanpa
dasar hukum yang jelas, atau mendapat vonis yang tinggi namun ditempatkan di
penjara yang “mewah”.
Jadi pada intinya, korupsi merupakan penyakit sosial yang
harus kita perangi mulai saat ini. Karena jika tidak, keberadaan generasi
penerus yang dilumuri oleh budaya korupsi hanya akan membawa kita ke titik
lemahnya suatu bangsa. Kita dapat menjaga kondisi ekonomi, politik, dan keadaan
sosial masyarakat tetap stabil apabila negara kita bersih dari korupsi. Kita
dapat mempercepat pembangunan dan mengurangi kesenjangan sosial apabila negara
kita bersih dari korupsi. Kita dapat merasakan keadilan dan kesejahteraan
apabila negara kita bersih dari korupsi. Kedepannya, mudah-mudahan generasi
penerus bangsa dapat menyadari betapa besarnya kerugian yang ditimbulkan dari
tindak pidana korupsi dan perlahan-lahan dapat melunturkan budaya tercela
tersebut, untuk selanjutnya membangun Indonesia yang lebih baik. Sekali lagi,
katakan tidak pada korupsi!
Daftar Pustaka
Khaerudin, 2013. Koruptor Tetap
Istimewa di Penjara. Diakses dari http://nasional.kompas.com/read/2013/05/20/10033126/Koruptor.tetap.istimewa.di.penjara.html pada tanggal 12 April 2014.
Anonim, 2012. Akibat Korupsi, Negara
Rugi Rp2.169 Trilyun. Diakses dari www.citizenjurnalism.com/hot-topics/akibat-korupsi-negara-rugi-rp-2169-trilyun.html pada tanggal 12 April 2014.
Nita, 2011. Budaya Korupsi di
Indonesia. Diakses dari http://nithaahomework.blogspot.com pada tanggal 12 April 2014.
Sawitri, Rai. 2013. Buku Pengayaan
Materi Budi Pekerti kelas IX. Denpasar: UD. Catur Wangsa Mandiri.
Sucipta, Made. 2013. Pendidikan
Pancasila dan Kewarganegaraan Kelas X Semester 2 SMA/SMK. Singaraja: Petada
Pasi Grafika.
(naskah ini berhasil menjadi juara favorit pada perlombaan Lomba Tulis Nasional 2014)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar