Psikologi Agama Sebagai Solusi Pengurangan Prevalensi
Bunuh Diri Remaja
Setiap orang pasti
pernah mengalami masa muda atau remaja, yaitu suatu fase peralihan dari
anak-anak menuju dewasa. Pada masa peralihan ini pola pikir remaja masih labil,
serta rentan mengalami depresi. Menurut Dr. Tjihin Wiguna, salah satu dokter
dari Departemen Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, pikiran
untuk bunuh diri biasa muncul pada anak usia 12 tahun ke atas. Hal ini
dikarenakan pada usia tersebut anak mulai memasuki remaja dengan pola pikir
yang telah berkembang untuk memahami rasa depresi dan putus asa.
Menurut Amir
Amarullah, salah satu wartawan VIVANews
Indonesia, pada tahun 2009 telah terjadi 13 kasus bunuh diri pada anak usia
5-25 tahun. Sementara itu, berdasarkan laporan paruh waktu tahun 2012 yang
dihimpun oleh Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia, terungkap fakta
bahwa dari bulan Januari sampai dengan Juli 2012, telah terjadi 20 kasus remaja
bunuh diri. Berkaca dari tingginya angka bunuh diri di kalangan remaja, sebenarnya
apa hakikat dari bunuh diri tersebut?
Bunuh diri berasal dari
bahasa Latin “suicidium” yang terdiri
dari dua kata yaitu “sui” dan “cidium”. “Sui” berarti
sendiri dan “cidium” berarti
pembunuhan. Bunuh diri dapat diartikan sebagai upaya mengakhiri hidup
sendiri, dengan maksud menghentikan keikutsertaan akan suka dan duka dalam
kehidupan di dunia (Dr. Rusmin, 2014).
Metode yang
kerap digunakan remaja dalam mengakhiri hidupnya tergolong variatif,
diantaranya mengonsumsi obat tertentu secara berlebihan, gantung diri,
menggunakan senjata api, menenggelamkan diri, melompat dari ketinggian, serta
memotong urat nadi (Marris, 2000).
Menurut Arist
Merdeka Sirait, selaku ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak 2012, penyebab
utama remaja bunuh diri adalah depresi yang disebabkan oleh putus cinta (40%),
frustasi ekonomi (35%), keluarga tidak harmonis (20%), serta masalah sekolah
(5%). Prof. Dr. Dadang Hawari (2010), salah seorang psikiater jebolan
Universitas Indonesia, mengungkapkan bahwa depresi merupakan penyebab utama
bunuh diri serta menduduki peringkat ke-6 dari penyebab utama kematian di
Amerika Serikat.
Dalam bukunya,
Suicide, Durkheim (1897-1951) mengklasifikasikan bunuh diri ke dalam empat tipe,
yaitu egoistic suicide (integrasi
individu terhadap lingkungan sosialnya terlalu rendah, individu merasa diri
mereka tidak memiliki arti), altrustic
suicide (integrasi individu terhadap lingkungan sosialnya terlalu tinggi,
individu merasa harus mengorbankan jiwanya demi kelompok sosial yang
diikutinya), anomic suicide
(integrasi individu terhadap lingkungan sosialnya terlalu rendah, individu
merasa kecewa terhadap tatanan sosial di lingkungan sekitarnya), serta fatalistic suicide (individu merasa terbatasi
ruang geraknya, sehingga ia memilih untuk mengakhiri hidup).
Hakikat Psikologi Agama dan Kaitannya dengan Perilaku
Bunuh Diri
Psikologi
agama terdiri atas dua kata, yaitu psikologi dan agama. Psikologi berarti ilmu
yang mempelajari tingkah laku manusia dan agama berarti segala masalah dan
keyakinan yang menyangkut kehidupan batin manusia. Psikologi agama dapat
diartikan sebagai cabang ilmu psikologi yang mempelajari tingkah laku manusia
dalam hubungan pengaruh keyakinan terhadap agama yang dianutnya (m.wikipedia.org/wiki/psikologi_agama).
Menurut Prof. Dr. Rusmin Tumanggor, ruang lingkup psikologi agama meliputi
kegiatan ibadah seseorang, gerakan kemasyarakatan dari sekelompok penganut
agama, budaya agama, serta kesadaran berama dalam masyarakat.
Agama
melindungi manusia dari keinginan untuk menganiaya dirinya sendiri, dimana
pembentuk agama adalah keberadaan sejumlah kepercayaan dan praktik tertentu
yang dilakukan bersama oleh sekelompok orang beriman. Semakin banyak dan
semakin kuat kepercayaan semacam ini, maka akan semakin kuat pula integrasi
sosial dalam kelompok individu tersebut (Durkheim, 1897/1951).
Prof. Dadang
Hawari, dalam bukunya, Psikopatologi Bunuh Diri (2010) mengungkapkan hasil
penelitiannya bahwa kalangan penduduk yang taat beragama memiliki angka bunuh
diri yang lebih rendah dibanding mereka yang cenderung apatis terhadap ajaran
agama. Hal ini dikarenakan bunuh diri terjadi akibat hilangnya kepercayaan
seseorang bahwa Tuhan mampu mengubah nasibnya.
Pada tahun
1984, World Health Organisation telah menginstruksikan bahwa dimensi spiritual
keagamaan sama pentingnya dengan dimensi fisik, psikologis, serta psikologi
sosial. Komitmen agama sebagai suatu kekuatan spiritual tidak dapat diabaikan
karena agama berperan sebagai pelindung lebih daripada sang penyebab masalah.
Komitmen agama bermanfaat bagi upaya pencegahan dengan bertindak sebagai
kekuatan pelindung dan penyangga seseorang dari faktor risiko penyebab depresi
yang memungkinkan tindakan bunuh diri (Larson, 1992).
Agama dapat
mencegah manusia dari keinginan untuk bunuh diri. Menurut Durkheim (1987/1951),
semakin ketat suatu ajaran agama dijunjung oleh penganutnya, maka akan semakin
kuat integrasi sosial yang terbentuk dalam kelompok tersebut. Semakin dalam upaya
orang tua menanamkan ajaran agama pada anak-anaknya, maka semakin tinggi pula
penghargaan yang anak berikan terhadap dirinya.
Peran
psikologi agama dalam pendidikan keluarga, sekolah, dan masyarakat telah
memasuki tahap urgent (Prof. Zakiyah
Dadrajat, 2004). Dilihat dari sudut kesehatan mental, kajian psikologi agama
memiliki tiga bentuk manfaat yaitu pencegahan (transfer ajaran agama semisal
sikap tawakal, kepasrahan, dan hukum akhirat akan menimbulkan rasa tidak enak
atau rasa takut dalam diri remaja untuk melakukan hal-hal diluar batas
kewajaran), pengobatan (terapi doa dan pengobatan tradisional untuk
menyembuhkan depresi pada remaja maupun mengembalikan kesadaran pada remaja
yang sudah melakukan percobaan bunuh diri), serta pemeliharaan (melalui ceramah
keagamaan serta pembelajaran agama di sekolah akan mempertahankan kualitas
moral serta kepercayaan diri remaja).
Ditilik dari
ruang lingkup psikologi agama, aspek-aspek berupa kegiatan ibadah, kesadaran
beragama, serta gerakan keagamaan dapat diterapkan dalam kehidupan remaja. Implementasi
ajaran psikologi agama dalam kehidupan masa kini adalah bahwa penanaman ajaran
agama yang kuat dan terstruktur kepada remaja penting untuk menekan keinginan
bunuh diri pada remaja tersebut.
Kegiatan
ibadah, yaitu berdoa dan ritual, mampu memberikan rasa optimis, semangat hidup,
serta meminimalisir perasaan putus asa ketika seseorang mengalami masalah
maupun keadaan yang kurang menyenangkan dalam hidupnya (Prof. Dr. Zakiah
Daradjat, 2010). Doa mampu menolong remaja yang sedang mengalami depresi,
dengan jalan memberikan ketenangan, keyakinan akan datangnya kondisi hidup yang
lebih baik serta autosugesti yang akan mendorong remaja tersebut untuk mencapai
apa yang ia doakan (dalam hal ini bebas dari jeratan masalah yang membuatnya
depresi).
Kesadaran
beragama merupakan faktor penting dalam membangkitkan semangat hidup remaja
yang mengalami depresi. Keberadaan ajaran-ajaran agama seperti ayat-ayat kitab
suci yang melarang kegiatan bunuh diri, filosofi agama semisal kepercayaan akan
adanya Brahma, Atman, Karmaphala, Punarbhawa, dan Moksa dalam Panca Sradha, serta kepercayaan akan adanya
hukuman akhirat bagi mereka yang mengakhiri hidup secara sengaja (kepercayaan
akan adanya neraka) mampu mencegah remaja melakukan hal-hal yang tidak wajar
seperti self injury (kegiatan melukai
diri sendiri) dan bunuh diri.
Gerakan keagamaan
yang berlangsung dalam masyarakat juga menawarkan solusi dalam mengurangi
prevalensi bunuh diri. Mengikuti gerakan keagamaan akan menyibukkan remaja
dengan kegiatan positif, sehingga remaja mampu menangkap pengalaman-pengalaman
baru dari sudut pandang yang belum pernah ia tinjau sebelumnya, serta
mempersempit waktu remaja untuk melakukan hal-hal yang tidak wajar seperti self injury dan bunuh diri. Dalam
lingkungan masyarakat Bali, gerakan keagamaan ini berupa Sekaa Teruna Teruni
(STT), pasraman, serta kelompok pesantian.
Kesimpulan
yang didapat, remaja pada umumnya memiliki pola pikir yang masih labil,
sehingga rentan mengalami putus asa dan depresi. Rasa depresi ini apabila tidak
ditangani dengan baik akan memunculkan keinginan bunuh diri pada remaja. Adapun
psikologi agama, salah satu cabang ilmu kejiwaan yang mempelajari tentang
hubungan keyakinan batin terhadap tingkah laku manusia hadir memberikan solusi
akan masalah tersebut.
Penelitian
menunjukkan bahwa ketaatan beragama mampu menekan angka bunuh diri. Hal ini
dikarenakan kajian psikologi agama bermanfaat dalam bidang pencegahan dan
pengobatan depresi, serta pemeliharaan mental pelaku percobaan bunuh diri.
Selain itu, implementasi psikologi agama seperti kegiatan ibadah, penanaman
teori agama, dan organisasi keagamaan mampu menolong remaja dari kekalutan
pikiran yang mendorongnya untuk bunuh diri.
Kedepannya,
diharapkan ketiga sumber belajar remaja yaitu keluarga (pendidikan informal),
sekolah (pendidikan formal), serta masyarakat (pendidikan non formal) dapat
bahu-membahu menyempurnakan ajaran agama dalam diri remaja, sehingga akan
terbentuk remaja dengan mental yang sehat serta bebas dari rasa depresi maupun
kekhawatiran. Kajian-kajian psikologi agama hendaknya diterapkan dalam
mengurangi prevalensi bunuh diri remaja, baik dalam bentuk pencegahan,
pengobatan, maupun pemeliharaan.
Daftar Pustaka
Amarullah, A.
(2009). Kasus Bunuh Diri di Indonesia. Diakses Mei 13, 2015 dari http://m.news.viva.co.id/news/read/110420-kasus_bunuh_diri_di_indonesia
Anonim.
(2012). Singkat Mengenai Bunuh Diri Dalam Perspektif Faktor Risiko Resiliensi
dan Keterlibatan Agama. Diakses Mei 13, 2015 dari https://justclickado.wordpress.com/2012/03/20/singkat-mengenai-bunuh-diri-dalam-perspektif-faktor-risiko-resiliensi-dan-keterlibatan-agama/
Azwarni, Y.
(2013, Oktober). Psikologi Agama tentang Ruang Lingkup dan Kegunaan Psikologi
Agama. In the meeting of Fakultas
Tarbiyah IAIN Imam Bonjol Padang. Indonesia : Sumatera Barat.
Hayuningtyas,
D. (2013). Upaya Bunuh Diri Sebagai Bentuk Depresi pada Remaja Putri Korban
Trafficking. Jurnal Dinar, 4-5.
Kurnia, L.
(2013). Pengertian, Sejarah Perkembangan, Manfaat, dan Ruang Lingkup Psikologi
Agama untuk Pendidikan. Diakses Mei 14, 2015 dari
https://salusta.wordpress.com/2013/10/25/pengertian-sejarah-perkembangan-manfaat-ruang-lingkup-dan-manfaat-psikologi-agama-untuk-pendidikan/
Nugraeni, R.
(2015). Kenapa Remaja Rentan Bunuh Diri. Diakses Mei 13, 2015 dari http://tumbuh-kembang.co.id/kenapa-remaja-rentan-bunuh-diri/
Oltmanns, T.
(2013). Psikologi Abnormal.
Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Pendidikan
Sosiologi UNY. (2013). Teori Sosiologi Klasik, Emile Durkheim 2. Diakses Mei
13, 2015 dari http://gurumudasosiologi.blogspot.com/2013/12/-teori-sosiologi-klasik-emile_2.html?m=1
Purwanto, S.
(2007). Psikoterapi Doa. Diakses Mei 13, 2015 dari http://setiyo.blogspot.com/2007/02/terapi-doa.html?m=1
Rozaki, A.
(2012). Bunuh Diri di Kalangan Anak dan Remaja Indonesia. Diakses Mei 14, 2015
dari http://kyotoreview.org/bahasa-indonesia/bunuh-diri-di-kalangan-anak-dan-remaja-indonesia/
Tumanggor, R.
(2014). Ilmu Jiwa Agama. Jakarta:
Kencana Prenadamedia Group.
Wikipedia.
(n.d.). Psikologi Agama. Diakses Mei 13, 2015 dari http://id.m.wikipedia.org/wiki/Psikologi_agama
(Essay ini diikutkan sebagai salah satu peserta dalam Psychological Writing Competition Universitas Udayana / PWC UNUD tahun 2015)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar