Berbagai Kritik untuk Sistem Tanam Paksa
Serangan-serangan
dari orang-orang non-pemerintah mulai menggencar akibat terjadinya kelaparan
dan kemiskinan yang terjadi menjelang akhir 1840-an di Grobogan,Demak,Cirebon.
Gejala kelaparan ini diangkat ke permukaan dan dijadikan isu bahwa pemerintah
telah melakukan eksploitasi yang berlebihan terhadap bumiputra Jawa.
Muncullah orang-orang humanis maupun praktisi Liberal menyusun serangan-serangan
strategisnya. Dari bidangsastra muncul Multatuli (Eduard
Douwes Dekker), di lapangan jurnalistik muncul E.S.W. Roorda van Eisinga,
dan di bidang politik dipimpin oleh Baron van Hoevell.
Dari sinilah muncul gagasan politik etis.
Kritik kaum liberal
Usaha
kaum liberal di negeri Belanda agar Tanam Paksa dihapuskan telah berhasil pada
tahun 1870,
dengan diberlakukannya UU Agraria, Agrarische Wet. Namun tujuan
yang hendak dicapai oleh kaum liberal tidak hanya terbatas pada penghapusan
Tanam Paksa. Mereka mempunyai tujuan lebih lanjut.
Gerakan liberal di
negeri Belanda dipelopori oleh para pengusaha swasta. Oleh karena itu kebebasan
yang mereka perjuangkan terutama kebebasan di bidang ekonomi. Kaum liberal di
negeri Belanda berpendapat bahwa seharusnya pemerintah jangan ikut campur
tangan dalam kegiatan ekonomi. Mereka menghendaki agar kegiatan ekonomi ditangani
oleh pihak swasta, sementara pemerintah bertindak sebagai pelindung warga
negara, menyediakan prasarana, menegakkan hukuman dan menjamin keamanan serta
ketertiban.
UU
ini memperbolehkan perusahaan-perusahaan perkebunan swasta menyewa lahan-lahan
yang luas dengan jangka waktu paling lama 75 tahun, untuk ditanami tanaman keras seperti karet, teh, kopi, kelapa sawit, tarum (nila), atau untuk tanaman semusim seperti tebu dan tembakau dalam
bentuk sewa jangka pendek.
Kritik kaum humanis
Kondisi
kemiskinan dan penindasan sejak tanam paksa dan UU Agraria, ini mendapat kritik
dari para kaum humanis Belanda.
Seorang Asisten Residen di Lebak, Banten, Eduard Douwes Dekker mengarang
buku Max Havelaar (1860). Dalam bukunya Douwes Dekker
menggunakan nama samaran Multatuli.
Dalam buku itu diceritakan kondisi masyarakat petani yang menderita akibat
tekanan pejabat Hindia Belanda.
Seorang
anggota Raad van Indie, C. Th van
Deventer membuat tulisan berjudul Een Eereschuld,
yang membeberkan kemiskinan di tanah jajahan Hindia-Belanda. Tulisan ini dimuat
dalam majalahDe Gids yang terbit tahun 1899. Van Deventer dalam bukunya
menghimbau kepada Pemerintah Belanda, agar memperhatikan penghidupan rakyat di
tanah jajahannya. Dasar pemikiran van Deventer ini kemudian berkembang menjadi Politik Etis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar