PERENCANAAN PROGRAM EDUKASI ANAK SEBAGAI UPAYA MITIGASI BENCANA LETUSAN GUNUNG AGUNG DI KABUPATEN KARANGASEM, BALI
Made Nita Sintari
Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Airlangga
E-mail: made.nita.sintari-2016@fkm.unair.ac.id
ABSTRAK
Gunung Agung merupakan gunung tertinggi di Pulau Bali dengan ketinggian mencapai 3.031 mdpl. Gunung Agung sewaktu-waktu dapat meletus sebab masih berstatus sebagai gunung berapi aktif. Untuk memperkecil risiko bencana bagi masyarakat yang berada pada kawasan rawan bencana, perlu dilakukan upaya mitigasi bencana salah satunya melalui program edukasi. Dewasa ini, upaya mitigasi hendaknya diarahkan pada sasaran potensial yaitu penduduk pada golongan usia anak-anak (5 – 9 tahun). Oleh karena itu, perlu dilakukan perencanaan program edukasi anak sebagai upaya mitigasi bencana letusan Gunung Agung. Hasil dari perencanaan ini adalah terbentuknya program edukasi anak yang telah melalui fungsi dan proses perencanaan sehingga mampu diterima, dimengerti, dipahami, serta dilaksanakan dengan baik oleh peserta program. Metode yang digunakan untuk menyusun perencanaan ini adalah studi literatur. Kesimpulan yang didapat adalah program edukasi anak dapat meningkatkan pengetahuan dan kesiapan anak dalam menghadapi bencana gunung meletus.
Kata kunci : bencana, gunung meletus, mitigasi, anak
PENDAHULUAN
Indonesia termasuk ke dalam wilayah yang kerap mengalami berbagai bencana, baik bencana alam maupun non alam. Indonesia merupakan daerah yang dilalui oleh jalur pertemuan tiga lempeng tektonik, sehingga kerap dilanda bencana gempa. Selain itu, Indonesia merupakan negara kepulauan yang dikelilingi oleh laut, sehingga kerap dilanda bencana tsunami. Menurut situs The Conversation, Indonesia juga memiliki 139 gunung berapi aktif sehingga berpotensi dilanda bencana gunung meletus.
Menurut Undang - Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Sementara itu, Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor.
Siklus manajemen bencana dapat dibagi menjadi tiga tahap, yaitu prabencana, selama bencana, dan pascabencana. Tahap prabencana diisi dengan kegiatan pencegahan, mitigasi, dan kesiapsiagaan bencana. Tahap selama bencana diisi dengan berbagai respons tanggap darurat. Selanjutnya, tahap pascabencana diisi dengan kegiatan pemulihan, rehabilitasi, dan rekonstruksi.
Menurut Undang - Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. Tujuan dari aktivitas mitigasi adalah mengurangi risiko bencana bagi masyarakat yang berada pada kawasan rawan bencana. Mitigasi dilakukan dengan pelaksanaan penataan ruang, pengaturan pembangunan infrastruktur dan tata bangunan serta penyelenggaraan pendidikan, penyuluhan, dan pelatihan baik secara konvensional maupun modern kepada masyarakat pada kawasan rawan bencana.
Mitigasi bencana merupakan suatu kegiatan penting karena bencana selalu memuat unsur ketidakpastian. Bencana seringkali terjadi secara tiba-tiba dan tidak memberikan cukup waktu bagi masyarakat untuk bersiap-siap ataupun sekadar melakukan upaya penyelamatan diri. Sementara itu, masyarakat yang tinggal di kawasan rawan bencana merupakan kelompok masyarakat yang paling rentan terkena dampak bencana seperti korban jiwa, kerugian harta, kerusakan lingkungan, serta dampak psikologis. Oleh karena itu, kegiatan mitigasi bencana penting dilakukan agar masyarakat mampu mengorganisir segala sumber daya yang dimiliki untuk mengurangi risiko yang mungkin timbul apabila terjadi bencana.
Salah satu bencana alam yang kerap terjadi di Indonesia adalah bencana gunung meletus. Menurut Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Bone, Letusan gunung api adalah bagian dari aktivitas vulkanik yang dikenal dengan istilah “erupsi”. Letusan gunung api terjadi akibat endapan magma di dalam perut bumi terdorong keluar oleh gas bertekanan tinggi. Tidak hanya magma (lava), gunung meletus juga mengeluarkan material lain yang dapat membahayakan kehidupan makhluk hidup antara lain awan panas, lontaran material berpijar, gas beracun, dan abu.
Salah satu gunung berapi aktif di Indonesia adalah Gunung Agung. Gunung Agung merupakan gunung tertinggi di Pulau Bali dengan ketinggian mencapai 3.031 mdpl. Gunung ini terletak pada Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem, Bali. Karangasem merupakan kabupaten yang terletak di ujung paling timur Pulau Bali. Kabupaten Karangasem memiliki luas wilayah mencapai 839,54 km2. Secara topografi, Kabupaten Karangasem memiliki variasi ketinggian wilayah yang lebih beragam dibandingkan beberapa wilayah lain di Bali. Hampir separuh (43,5 persen) wilayah di kabupaten ini memiliki ketinggian lebih dari 500 meter di atas permukaan laut (BPS Kabupaten Karangasem, 2017)
Gunung Agung sempat meletus beberapa kali, antara lain pada tahun 1808, 1821, 1843, dan 1963. Meskipun letusan terakhir terjadi pada tahun 1963, sejak dua tahun terakhir Gunung Agung mengalami peningkatan aktivitas. Puncak aktivitas Gunung Agung adalah naiknya status aktivitas Gunung Agung dari level siaga menjadi level awas pada Bulan September 2017. Status ini kembali diturunkan menjadi level siaga pada Bulan Oktober 2017. Sampai pada tahun 2018, Gunung Agung masih terpantau melakukan beberapa aktivitas vulkanik. Bahkan pada bulan Juli 2018, Gunung Agung kembali erupsi (Pratama, 2018).
Sebagai salah satu jenis bencana alam, penanggulangan gunung meletus tidak lepas dari siklus manajemen bencana. Manajemen adalah proses yang khas terdiri dari tindakan perencanaan, pengorganisasian, penggerakan, dan pengawasan yang dilakukan untuk menentukan serta mencapai sasaran-sasaran yang telah ditetapkan melalui pemanfaatan sumber daya manusia serta sumber-sumber lain (Terry, 1968). Manajemen terdiri atas beberapa fungsi antara lain planning, organizing, staffing, directing, coordinating, reporting, dan budgeting (Gullick, 1937). Masing-masing fungsi manajemen tersebut melalui empat proses yaitu planning, organizing, actuating, dan controlling.
Salah satu fungsi manajemen yang sangat penting adalah planning (perencanaan). Perencanaan adalah pemilihan atau penetapan tujuan-tujuan organisasi dan penentuan strategi kebijaksanaan proyek, program, prosedur, metode, sistem anggaran dan standar yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan (Fayol, 1949). Perencanaan menjadi aktivitas terpenting dari seluruh kegiatan yang akan dilaksanakan, sebab hasil dari aktivitas perencanaan tersebutlah yang akan mengatur seluruh jalannya kegiatan.
Seluruh penatalaksanaan siklus bencana, termasuk mitigasi, wajib melalui fungsi dan proses perencanaan. Hal ini dilakukan untuk memberikan upaya mitigasi yang membawa manfaat besar bagi masyarakat di kawasan rawan bencana. Upaya mitigasi yang telah melalui fungsi dan proses perencanaan akan mampu diterima, dimengerti, dipahami, serta dilaksanakan dengan baik oleh masyarakat.
Dewasa ini, sasaran mitigasi bencana hendaknya tidak diarahkan pada individu usia remaja maupun dewasa saja. Anak-anak (5 – 9 tahun) juga berhak menikmati manfaat dari upaya mitigasi bencana. Anak-anak merupakan sasaran potensial dari upaya mitigasi bencana sebab apabila mereka telah memahami pengelolaan dan penanggulangan bencana sejak usia muda, mereka akan mengingat materi tersebut sepanjang hidupnya. Selain itu, anak-anak akan menjadi pribadi yang mandiri dalam melakukan upaya penyelamatan saat terjadi bencana, tidak hanya bergantung sepenuhnya kepada orang dewasa.
Oleh karena itu, program edukasi bencana terhadap anak merupakan upaya mitigasi yang penting untuk dilakukan. Program edukasi dipilih karena upaya inilah yang paling mampu dipahami oleh anak-anak, dibandingkan dengan permasalahan tata ruang maupun pembangunan infrastruktur. Melalui program edukasi, diharapkan anak-anak ini tidak hanya mendapat manfaat bagi diri sendiri, tapi juga untuk orang tua mereka atau bahkan masyarakat lain.
TUJUAN
Tujuan dari penulisan artikel ini adalah mengetahui proses perencanaan program edukasi anak sebagai upaya mitigasi bencana letusan Gunung Agung di Kabupaten Karangasem, Bali.
METODE
Metode yang digunakan dalam penulisan artikel ini adalah studi literatur. Literatur didapat dari berbagai sumber antara lain, buku, berita nasional, publikasi nasional, serta artikel yang diterbitkan oleh lembaga berwenang seperti Badan Penanggulangan Bencana. Literatur yang digunakan bersifat dapat dipercaya serta memenuhi unsur kebaruan (lima tahun terakhir).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Kawasan Rawan Bencana
Gunung Agung merupakan gunung tertinggi di Pulau Bali dengan ketinggian mencapai 3.031 mdpl. Gunung ini terletak pada Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem, Bali. Saat ini, Gunung Agung masih berstatus sebagai gunung berapi aktif yang sewaktu-waktu dapat mengalami erupsi. Erupsi terakhir tercatat pada tanggal 2 Juli 2018 dengan memuntahkan abu serta lava pijar dengan radius dua kilometer (Damarjati, 2018).
Gambar 1. Peta Kawasan Rawan Bencana Gunung Api Kabupaten Karangasem Provinsi Bali
Sumber: https://bnpb.go.id/peta-grafis
Badan Penanggulangan Bencana Nasional telah menerbitkan peta kawasan rawan bencana untuk wilayah sekitar Gunung Agung, Kabupaten Karangasem, Provinsi Bali. Peta tersebut memetakan wilayah sekitar Gunung Agung menjadi tiga kawasan, antara lain Kawasan Rawan Bencana (KRB) I, II, dan III. Wilayah yang termasuk dalam KRB III tersebar ke dalam enam kecamatan, antara lain Kecamatan Rendang, Kubu, Abang, Karangasem, Bebandem, dan Selat.
Menurut Badan Geologi Nasional, KRB III gunung api adalah kawasan yang hampir selalu terkena awan panas, aliran lava, dan lontaran bom vulkanik saat terjadinya bencana gunung meletus. Pada Kawasan Rawan Bencana III tidak diperkenankan adanya hunian tetap maupun penggunaan lain yang bersifat komersial. Kawasan yang termasuk KRB III adalah daerah puncak dan sekitarnya serta daerah yang berada pada radius 3 – 6 km (atau lebih) dari pusat erupsi.
KRB II adalah kawasan yang berpotensi terkena awan panas, aliran lahar, gas racun, lontaran batu pijar, dan hujan abu meskipun tidak separah KRB III. Kawasan yang berpotensi terkena awan panas, aliran lahar, dan gas racun dapat berada pada radius hingga 10 km dari pusat erupsi. Sementara itu, kawasan yang berpotensi terkena lontaran batu pijar dan hujan abu berada pada radius kurang lebih 5 km dari pusat erupsi.
KRB I adalah kawasan yang berpotensi terkena aliran lahar atau banjir. Apabila erupsi yang terjadi cukup besar, kawasan ini juga berpotensi terkena hujan abu dan lontaran batu pijar. Meskipun dampak yang terjadi kemungkinan tidak sebesar pada KRB III maupun KRB II, KRB I berperan penting sebagai jalur dukungan dan bantuan bagi wilayah KRB III dan KRB II, misalnya sebagai tempat membangun tenda pengungsian terdekat.
Karakteristik Penduduk Kawasan Rawan Bencana
Menurut data Badan Pusat Statistik Kabupaten Karangasem, jumlah penduduk Kabupaten Karangasem pada tahun 2016 berdasarkan proyeksi penduduk adalah sebesar 410.800 jiwa. Jumlah ini terdiri atas 205.500 jiwa penduduk laki-laki dan 205.300 jiwa penduduk perempuan. Dilihat dari segi umur, penduduk Kabupaten Karangasem didominasi oleh penduduk usia produktif (15 – 64 tahun) sebanyak 265.700 jiwa.
Seperti masyarakat Bali pada umumnya, sebagian besar penduduk Kabupaten Karangasem menganut agama Hindu (95,37%). Oleh karena itu, penduduk Karangasem sangat menyucikan keberadaan Gunung Agung. Sebagian masyarakat percaya bahwa Gunung Agung merupakan tempat bersemayamnya para dewa. Terlebih lagi di kaki Gunung Agung terdapat Pura Besakih yang merupakan pura terbesar yang ada di pulau Bali serta sangat disucikan oleh umat Hindu Bali.
Berdasarkan tingkat pendidikan pada tahun 2016, mayoritas penduduk Kabupaten Karangasem tidak memiliki ijasah (38,94%), diikuti dengan penduduk yang menamatkan tingkat pendidikan tertinggi pada jenjang SD (31,84%). Mayoritas penduduk karangasem pada tahun 2015 bekerja pada sektor pertanian, perkebunan, perhutanan, perburuan, dan perikanan (39,02%), diikuti dengan penduduk yang bekerja pada sektor perdagangan, rumah makan, dan jasa akomodasi (18,75%).
Meskipun didominasi oleh golongan usia produktif, Kabupaten Karangasem juga memiliki golongan umur anak dalam jumlah yang cukup besar. Pada tahun 2016, penduduk berusia 5 – 9 tahun pada Kabupaten Karangasem berjumlah sebanyak 36.000 jiwa. Oleh karena itu, golongan anak-anak merupakan sasaran potensial dalam pelaksaan program edukasi sebagai upaya mitigasi bencana.
Tingkat pendidikan penduduk yang rendah mengindikasikan sebagian besar anak mungkin tidak mengecap bangku sekolah secara utuh. Oleh karena itu, pengintegrasian edukasi bencana sebagai upaya mitigasi bencana pada kurikulum sekolah dapat dinilai kurang efektif. Perlu dilakukan perancangan program edukasi bencana berbasis wilayah, utamanya pada kawasan rawan bencana, yang dapat menjangkau seluruh anak pada Kabupaten Karangasem. Basis wilayah ini dapat diambil menurut dusun/banjar atau kecamatan yang pasti ada pada Kabupaten Karangasem.
Pengambilan usia anak sebagai sasaran program bermanfaat dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Dalam jangka pendek, anak akan mampu memahami hal-hal yang perlu dilakukan apabila terjadi bencana, mulai dari mengenal tanda-tanda terjadinya bencana, menahan diri untuk tidak panik, cara menyelamatkan diri, sampai dengan membantu orang lain. Dalam jangka panjang, adanya edukasi akan mengurangi trauma psikologis pada anak apabila terjadi bencana. Selain itu, anak dapat dijadikan agen penyaluran informasi yang efektif kepada masyarakat khususnya orang tua masing-masing anak.
Perencanaan Program Edukasi Anak
Perencanaan merupakan langkah awal dari segala kegiatan yang ingin dilaksanakan oleh suatu lembaga maupun individu. Dalam merangcang upaya mitigasi, perencanaan sangat penting agar upaya yang hendak dilaksanakan berjalan dengan baik, terarah, serta membawa manfaat bagi masyarakat. Dalam merancang sebuah program edukasi, diperlukan perhitungan yang cermat dan teliti mulai dari pembentukan tim fasilitator sampai dengan evaluasi keberhasilan program.
Langkah pertama dalam perencanaan program edukasi anak mengenai bencana gunung meletus di Kabupaten Karangasem adalah pemetaan daerah rawan bencana yang sekiranya memerlukan penyelenggaraan program edukasi anak. Saat ini, Badan Penanggulangan Bencana Nasional telah menerbitkan Peta Kawasan Rawan Bencana Gunung Api Kabupaten Karangasem. Oleh karena itu, pembentukan program edukasi anak sebaiknya diprioritaskan pada wilayah yang termasuk KRB III.
Langkah kedua adalah pembentukan tim fasilitator. Sebelum mewujudkan masyarakat yang mandiri, masyarakat memerlukan adanya pendamping atau fasilitator yang bertugas untuk melakukan pelatihan, pembinaan, pengawasan, serta pengevaluasian. Tim fasilitator ini harus terdiri atas unsur gabungan antara pemerintah dengan komunitas warga setempat. Unsur pemerintah dapat diwakili oleh perwakilan dari instansi Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Karangasem. Selanjutnya, BPBD dapat menggalang kerjasama dengan pengurus banjar/dusun setempat, ataupun dengan komunitas lain seperti sekaa teruna-teruni (karang taruna), dan ibu-ibu PKK. Unsur pemerintah diperlukan untuk mengatur serta mengawasi jalannya program sehingga berhasil mencapai target yang diinginkan. Sementara itu, unsur masyarakat diperlukan untuk mendapatkan kepercayaan, kedekatan, serta rasa memiliki dari masyarakat lokal.
Langkah ketiga adalah penjaringan peserta. Sasaran program edukasi adalah anak-anak berusia 5 – 9 tahun. Apabila program edukasi dibuat dalam lingkup kecil yaitu pada tataran banjar/dusun, maka peserta program tidak perlu terlalu banyak, cukup perwakilan anak sebanyak 10 – 15 orang. Namun apabila program edukasi dibuat dalam lingkup yang lebih besar yaitu pada tataran kelurahan/kecamatan, program edukasi dapat menerima 15 – 30 peserta.
Langkah keempat, tim fasilitator dapat melakukan rapat pembentukan jadwal program edukasi. Pada rapat ini, penting bagi fasilitator untuk mengundang masyarakat, khususnya orang tua para anak peserta program, untuk bersama menyusun jadwal pelaksanaan program. Jadwal pelaksanaan hendaknya disesuaikan agar tidak menganggu kegiatan anak yang lain. Misalnya mengambil hari di luar hari kerja dengan waktu pagi atau sore hari selama dua jam.
Saat menyusun jadwal pelaksanaan program, perlu dibuat susunan kurikulum atau materi ajar yang akan diberikan pada setiap pertemuan. Materi ini harus bersifat mudah dipahami, menarik perhatian, serta dapat dikemas dengan penyampaian yang menyenangkan. Sebagai contoh, dibuat kurikulum program edukasi anak yang akan dilaksanakan dalam tiga kali pertemuan selama tiga minggu. Minggu pertama akan dilakukan pretest untuk mengetahui tingkat pengetahuan awal anak mengenai bencana, dilanjutkan dengan pemberian materi mengenai bahaya dan dampak dari bencana gunung meletus. Minggu kedua dilanjutkan dengan pemberian materi mengenai berbagai tanda akan terjadinya bencana gunung meletus. Pada minggu ketiga, diberikan materi terakhir mengenai berbagai hal yang harus dilakukan anak sebelum, selama, dan sesudah bencana gunung meletus. Pertemuan ketiga diakhiri dengan pemberian postest untuk mengetahui tingkat pengetahuan akhir anak mengenai bencana gunung meletus.
Pada minggu pertama, peserta program diberikan materi mengenai dampak dan bahaya gunung meletus. Materi ini harus dikemas secara menyenangkan sehingga menarik perhatian anak. Penggunaan foto, video, maupun gambar pascabencana sebaiknya dihindari, karena akan menimbulkan kesan takut pada anak. Sebaliknya, pengemasan materi dapat dilakukan menggunakan permainan. Sebagai contoh, ajak peserta membentuk kelompok yang terdiri dari 3 – 5 orang. Masing-masing kelompok diajak membuat gunung api buatan menggunakan bahan cuka dan soda kue. Fasilitator juga dapat menambah bahan lain misalnya abu atau kerikil untuk memperjelas pemahaman anak bahwa letusan gunung berapi tidak hanya mengeluarkan lava. Melalui permainan dan penjelasan yang interaktif, anak dapat menyerap informasi yang diberikan tanpa terbebani oleh rasa takut.
Pada minggu kedua, peserta program diberikan materi mengenai berbagai tanda akan terjadinya gunung meletus. Berbagai tanda tersebut dapat meliputi pertanda alam maupun pertanda buatan manusia. Beberapa pertanda alam akan terjadinya gunung meletus antara lain terjadi kenaikan suhu udara yang tidak biasa, mata air mengering, terjadi beberapa gempa baik dalam skala besar maupun kecil, terdengar suara gemuruh, tumbuhan di sekitar gunung menjadi layu, serta perpindahan berbagai jenis hewan untuk meninggalkan gunung (Febrinastri, 2015). Sementara itu, pertanda buatan yang dapat dipercaya oleh anak misalnya pengumuman terjadinya bencana melalui pengeras suara ataupun siaran radio. Pada materi ini, penggunaan gambar maupun video diperbolehkan untuk memperjelas pemahaman anak.
Pada minggu ketiga, anak diberikan pemahaman mengenai berbagai hal yang harus dilakukan sebelum, selama, dan sesudah terjadinya bencana gunung meletus. Materi ini sebaiknya dikemas dengan kegiatan simulasi sehingga peserta program dapat mempraktekkan langsung materi yang dipelajarinya. Selain itu, fasilitator dapat pula membagikan brosur yang berisi poin-poin langkah yang harus dilakukan, disertai dengan gambar serta warna yang menarik.
Ketika berbagai tanda akan terjadinya letusan gunung api sudah mulai terlihat, anak dapat segera melakukan berbagai upaya sebelum bencana seperti selalu menghidupkan radio dan mempersiapkan tas darurat (Candraswari, 2018). Radio maupun handie talkie lebih diprioritaskan daripada perangkat elektronik lain seperti telepon genggam atau televisi, sebab bencana gunung meletus dapat menganggu transmisi sinyal dan merusak perangkat elektronik. Sementara itu, tas darurat diperlukan apabila terjadi perintah mendadak untuk mengungsi secara tiba-tiba. Tas darurat ini hanya berisi keperluan penting seperti kartu identitas, sejumlah uang, kotak P3K, makanan darurat, air, masker, senter, radio baterai, serta pakaian. Berikan kesempatan bagi peserta program untuk melakukan simulasi mengenai pengemasan tas darurat.
Selama terjadi bencana gunung meletus, berikan penjelasan pada anak untuk tetap tinggal di dalam rumah dan tidak berpergian ke luar. Tutup seluruh pintu dan jendela, serta pindahkan perangkat elektronik ke tempat yang lebih aman. Apabila dampak dari abu masih terasa, ajarkan anak untuk menggunakan masker (atau pakaian dan kain apabila masker tidak tersedia), menggunakan baju dan celana panjang yang tertutup, serta melindungi bagian mata dan mulut. Apabila terjebak di luar rumah, ajarkan anak untuk mencari tempat perlindungan misalnya di dalam kendaraan. Apabila tidak menemukan tempat perlindungan, ajarkan anak untuk naik menuju tempat yang tinggi untuk menghindari aliran lava. Simulasikan peserta program untuk duduk berjongkok, tidak menghadap gunung, serta melindungi kepala dan wajah menggunakan tas, pakaian, atau barang apapun yang ada di sekitar anak (Ratnasari, 2017).
Setelah bencana gunung meletus usai, instruksikan anak untuk tetap memantau informasi melalui radio dan menyampaikannya kepada orang tua. Anak juga diinstruksikan agar tidak banyak bermain di luar rumah maupun tempat yang masih terkontaminasi oleh abu vulkanik. Apabila memungkinkan, anak dapat menawarkan bantuan kepada orang tuanya untuk ikut berpartisipasi dalam upaya pembersihan abu di sekitar rumah, namun harus berada di bawah pengawasan orang tua serta menggunakan alat pelindung seperti masker, kacamata, dan baju maupun celana yang tertutup.
Selain perancangan aktivitas program, perlu dilakukan perencanaan kegiatan pemantauan dan evaluasi. Pemantauan dapat dilaksanakan pada pelaksanaan program setiap minggunya, untuk memastikan bahwa semua materi telah disampaikan sesuai rencana. Sementara itu, evaluasi dapat dilaksanakan pada akhir program dengan menganalisis hasil pretest dan postest. Program edukasi dikatakan berhasil apabila terjadi peningkatan yang signifikan pada pengetahuan peserta program mengenai bencana gunung meletus.
KESIMPULAN
Gunung Agung merupakan gunung berapi aktif tertinggi di Pulau Bali dengan ketinggian mencapai 3.031 mdpl. Untuk memperkecil risiko bencana bagi masyarakat yang berada pada kawasan rawan bencana, perlu dilakukan upaya mitigasi bencana salah satunya melalui program edukasi. Dewasa ini, upaya mitigasi hendaknya diarahkan pada sasaran potensial yaitu penduduk pada golongan usia anak-anak (5 – 9 tahun). Perencanaan program edukasi yang diberikan dapat melalui beberapa tahap antara lain pemetaan daerah rawan bencana, pembentukan tim fasilitator, penjaringan peserta, pembentukan jadwal program edukasi, penentuan susunan kurikulum dan materi ajar, serta teknis pemantauan dan evaluasi.
SARAN
Saran yang dapat diberikan kepada pihak pemerintah antara lain hendaknya memberikan perhatian lebih kepada upaya mitigasi bencana. Upaya mitigasi bencana khususnya program edukasi sangat penting untuk meningkatkan tingkat kesiapan masyarakat apabila sewaktu-waktu terjadi bencana. Golongan masyarakat yang perlu diberikan edukasi pun tidak hanya golongan remaja maupun dewasa saja, melainkan juga golongan usia anak-anak. Sementara itu saran yang dapat diberikan kepada masyarakat, khususnya yang berdomisili di daerah rawan bencana, antara lain hendaknya selalu mengikuti instruksi pemerintah atau pihak yang berwenang. Hal ini disebabkan segala instruksi yang diberikan pasti bertujuan untuk melindungi keselamatan serta keamanan dari masyarakat yang terkena dampak bencana.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Geologi Nasional. (2014). Kawasan Rawan Bencana Gunung Api. Diakses pada September 28, 2018, dari http://www.vsi.esdm.go.id/index.php/gunungapi/data-dasar-gunungapi/495-g-marapi?start=6
Badan Nasional Penanggulangan Bencana. (2017). Peta dan Infografis Siaga Gunung Agung. Diakses pada September 28, 2018, dari https://bnpb.go.id/peta-grafis
Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Bone. (2015). Gunung Berapi. Diakses pada September 28, 2018, dari https://bpbd.bone.go.id/2015/01/25/gunung-berapi/
Candraswari, R. (2017). Panduan Keselamatan Ketika Terjadi Letusan Gunung Berapi. Diakses pada September 28, 2018, dari https://hellosehat.com/hidup-sehat/tips-sehat/antisipasi-gunung-berapi-meletus/
Damarjati, D. (2018). Gunung Agung Meletus, Lava Terlontar 2 Km dan Membakar Hutan. Diakses pada September 28, 2018, dari https://news.detik.com/berita/4094922/gunung-agung-meletus-lava-terlontar-2-km-dan-membakar-hutan
Fayol, H. (1949). General and Industrial Management. London: Pitman.
Febrinastri, N. (2015). 5 Tanda Gunung Api Akan Meletus. Diakses pada September 28, 2018, dari http://www.beritasatu.com/iptek/302876-5-tanda-gunung-api-akan-meletus.html
L. Gullick, L. F. U. (1937). Paper in the Science of Administration. New York: Columbia University Press.
Pratama, A. N. (2018). Meletus Pertama pada 1808, Ini Catatan Letusan Gunung Agung. Diakses pada September 28, 2018, dari https://regional.kompas.com/read/2018/07/03/16410061/meletus-pertama-pada-1808-ini-catatan-letusan-gunung-agung
Presiden Republik Indonesia. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, Pub. L. No. Nomor 24 Tahun 2007 (2007). Indonesia.
Ralf Gertisser, Katie Preece, S. C. (2017). We’re Volcano Scientists – Here are Six Volcanoes We’ll be Watching Out For in 2018. Diakses pada September 28, 2018, dari https://theconversation.com/were-volcano-scientists-here-are-six-volcanoes-well-be-watching-out-for-in-2018-89051
Ratnasari, E. D. (2017). Yang Harus Dilakukan Saat Terjadi Letusan Gunung Berapi. Diakses pada September 28, 2018, dari https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20170803200704-282-232333/yang-harus-dilakukan-saat-terjadi-letusan-gunung-berapi
Terry, G. R. (1968). Principles of Management. United States: Ricard D. Irwin.
~~~~~
Halo teman-teman!
Ini adalah salah satu hasil tugasku pada mata kuliah Manajemen Bencana.
Sengaja aku post di blog ini, siapa tau ada manfaatnya untuk kalian. Selamat membaca!